o

6 Tipe Budaya Belajar Mahasiswa

Budaya Belajar Mahasiswa

Perguruan tinggi atau universitas selalu dijuluki dengan lingkungan kaum intelektual, yang selanjutnya akan menciptakan pemimpin atau politikus-politikus yang handal, mereka semua adalah jebolan atau lulusan dari pendidikan selevel perguruan tinggi. Tidak lepas dari keberhasilan mereka adalah budaya belajar kampus yang positif. Semua tempat dan semua waktu adalah belajar. Demikian kesimpulan provokasi took-tokoh besar demokratis pendidikan yang selama ini digaungkan menjadi mahasiswa. Dan sebagai konskuensinya mereka harus menjalani apa itu yang namanya proses pembelajaran, dan hal ini yang menjadikan syarat wajib untuk menyandang prediket sebagai mahasiswa. Dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak disebut mahasiswa jika mereka tidak belajar.

Seiring dengan berputarnya bumi, proses belajar menjadi rutinitas makhluk yang berakal yaitu manusia. Baik mereka sadar atau tidak sadar bahwa mereka telah melakaukannya. Terkadang pengetahuan ini didapatkan secara tidak sengaja, sepintas saat bersinggungan dengan realitas yang ada, tetapi kemudian banyak bermanfaat dalam kelangsungan hidup mereka. Menurut pengertiannya belajar adalah semua upaya manusia atau individu memobilisasikan (menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan) semua sumber daya yang dimilikinya (fisik, mental, intelektual, emosional, dan sosial) untuk memberikan jawaban (respon) yang tepat terhadap problema yang dihadapi[1]. Atau dapat disebut juga bahwa proses belajar adalah upaya sadar untuk mengetahui hal-hal yang baru atau usaha untuk mengerti atas hal-hal yang belum dimengerti.

Budaya belajar sampai saat ini tidak akan bisa lepas dari jiwa seorang mahasiswa, karena telah dijelaskan bahwa tidak belajar berarti tidak mahasiswa. Tapi realitasnya banyak pergeseran makna belajar dari makna idealnya, sepintas makna ideal dari proses belajar mahaiswa adalah dimulai dari masuk kuliah dikelas, diskusi hingga berorganisasi, semua ini adalah proses belajar yang ideal bagi mahasiswa, realitasnya makna proses belajar yang sekarang ini berkembang adalah masuk kelas duduk manis mendengarkan ceramah dosen selanjutnya yang terpenting adalah absensi untuk membantu mendongkrak nilai mereka.
6 Tipe Budaya Belajar Mahasiswa


Dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba memberikan uraian tentang budaya belajar mahasiswa yang ada di perguruan tinggi
Selanjutnya penulis akan menguraikan satu persatu budaya belajar mahasiswa yang sudah mengakar disetiap diri mahasiswa, budaya belajar yang pertama adalah :

  1. Budaya Belajar Disiplin
Kata disiplin sudah tidak asing bagi kehidupan manusia, yang mana kata disiplin akan masuk kedalam problem setiap manusia, kata disiplin menurut Drs. Syaiful Bahri Djamarah adalah “suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pribadi atau kelompok”[2]. Untuk menegakkan hidup disiplin kita tidak harus melibatkan banyak orang, karena disiplin akan lahir jika ada kesadaran yang tinggi pada setiap manusia. Ciri utama orang yang hidup dalam kedisiplinan belajar adalah mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu walaupun sedetik hanya untuk pikiran yang hampa, musuh terbesar orang yang disiplin belajar adalah budaya jam karet, yang mana budaya jam karet adalah musuh besar bagi mereka yang mengagungkan disiplin dalam belajar. Mereka benci menunda-nunda waktu, setiap jam dan bahkan setiap detik sangat berarti bagi mereka yang menuntut ilmu dimanapun mereka berada.
Pengikut dari budaya belajar ini sangatlah sedikit, mungkin hanya 20% dari semua yang belajar disetiap perguruan tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan makin menjamurnya perilaku-perilaku mahasiswa yang tidak selayaknya disebut dengan mahasiswa, alasan tidak mumbuat tugas kuliah dengan kata lupa, ketinggalan, dibawa teman selalu disodorkan kemuka dosennya setiap hari. Inilah bukti real dari budaya jam karet yang telah menyebar kesetiap urat nadi setiap mahasiswa, dan anehnya setiap mahasiswa ynag sudah terkena virus ini merasa sudah nyaman, mereka tidak berusaha untuk mencari penawar virus ini. Seharusnya mereka menyadari lebih dini tentang kalimat waktu adalah pedang, manusia harus bisa memanfaatkan waktu kalau manusia tidak ingin menyesal gara-gara menyia-nyiakan waktu itu sendiri.

  1. Budaya Belajar Wayang
Mungkin istilah ini tidak cocok untuk penyebutan dalam ruang lingkup pendidikan, tapi kalau kita melihat dan tahu kapan pertunjukan wayang digelar pasti akan menerima istilah belajar wayang, budaya belajar yang seperti ini ditempuh bagi mereka mahasiswa yang suka bermain dengan roda waktu, mereka selalu menunda-nunda belajarnya, alasan yang sering mereka gembor-gemborkan adalah kenapa harus belajar Belanda masih jauh ? sungguh sangat ironis mahasiswa yang mempunyai anggapan seperti ini, karena materi atau pelajaran dalam waktu 6 bulan akan dipelajari dalam waktu satu malam atau dalam istilah pewayangan adalah pagelaran wayang semalam suntuk.

Dalam bukunya The Liang Gie yang diterbitkan oleh Pusat kemajuan studi Yogyakarta menyatakan bahwa “belajar setiap hari 1 jam selama 6 hari berturut-turut akan memberikan hasil yang lebih besar dari pada belajar 6 jam setiap kali dalam jangka waktu seminggu”[3] dengan pernyataan ini, lamanya waktu belajar tidak akan menjamin berhasilnya dalam penguasaan materi atau pelajaran. Hal ini terbukti saat perjuangan setiap mahasiswa dalam mengerjakan ujian akhir semester, mereka belajar semalam suntuk untuk bisa menguasai materi yang telah didapat selama 6 bulan, dipagi harinya akan terlihat peristiwa-peristiwa diluar pemikiran mereka, dimulai dari mereka yang bangun kesiangan karena lelah akhirnya saat ujian mereka banyak yanmg terlambat dan semua yang telah dipelajari semalam hilang begitu saja karena tegang. Banyak dari mereka yang mengantu saat mengerjakan soal ujian. Sebetulnya semua ini dapat diatasi sejak dini, belajar tidaklah harus menunggu ada ujian, tapi belajar haruslah dilakukan secara continue. Yang harus digaris bawahi dalam hal pemanfaatan waktu atau untuk menghindari budaya belajar wayang adalah kesadaran bagi setiap mahasiswa bahwa mereka tidak bisa menghindarkan diri mereka dari masalah waktu, seharusnya mereka tidak boleh menjadi budak waktu, tetapi majikan waktu atau pengatur waktu. Mereka harus bisa mengatur rentangan waktu duapuluh empat jam itu dengan sebaik-baiknya.

  1. Budaya Terlambat Kelas
Setiap dapat jadwal kuliah khususnya jam 07.00, sering sekali para dosen selalu sarapan pagi dengan kata-kata maaf Pak, saya terlambat jalannya macet, maaf Pak, terlambat ditengah jalan bannya bocor. Inilah sikap yang ditunjukan para mahasiswa yang berlangganan terlambat kelas. Padahal akibat dari keterlambatan itu, banyak efek yang tidak baik untuk lancarnya pembelajaran bagi mereka. Budaya terlambat menjadi rutinitas bagi tipe mahasiswa yang menganggap kuliah tidak penting, mereka lebih santai dalam hal menerima mata kuliah. Sehingga hasil belajar akan lebih bagus jika masuk kuliah tepat waktu atau tidak terlambat, mahasiswa yang lebih awal masuk kuliah dapat mempersiapkan diri dan semua yang akan dibutuhkab dalam perkuliahan, sedangkan mahasiswa yang berlangganan terlambat akan mendapatkan kerugian yang banyak, mulai dari ketinggalan materi, tidak tahu pokok bahasan yang dibahas.

  1. Budaya belajar dibelakang kelas
Budaya ini selalu muncul disetiap perkuliahan, dosen yang berwatak galak akan sangat mempengaruhi bagaimana mahasiswa memilih tempat duduk yang strategis menurut mereka. Hampir 70% penganut budaya ini adalah mahasiswa bukan mahasiswi. Realitanya ketika perkuliahan berlangsung pada saat dosen memberikan materi umumnya dosen tidak menggunakan alat pengeras suara, hal ini jelas yang paling mendengar materi dengan jelas adalah mereka yang memilih duduk dikursi paling depan. Duduk didepan lebih mudah untuk memusatkan konsentrasi dan memperkecil kemungkinan dari berbagai macan gangguan. Sedangkan mahasiswa yang duduk dibelakang pasti kurang jelas dalam menerima materi, dan yang paling penting duduk dibelakang sangat rawan dengan gangguan atau mengganggu teman yang sudah serius.

5. Belajar Menunggu Tugas
Kesibukan seorang mahasiswa akan terjadi jika seorang mahasiswa mendapatkan tugas dari dosen, kelompok mahasiswa yang selalu belajar jika diberi tugas akan terlihat dalam kesehariannya selalu berusaha untuk santai-santai. Mereka tidak berpikir kebelakang sebenarnya apa kewajiban seorang mahasiswa kalau tidak belajar. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa manfaat belajar adalah untuk mendapatkan sebuah nilai yang nantinya akan ditulis dalam transkip nilai mereka. Kesadaran belajar untuk manfaat dirinya sendiri tidak lagi dihiraukan, apalagi tuntutan masyarakat setelah mereka lulus tidak lagi menjadi pertimbangan untuk hidup santai dilingkuangan kampus. Realitanya banyak dari mereka selalu kebingungan pada saat menerima tugas dari dosen karena tahapan materi yang diberikan oleh dosen tidak mampu mereka pahami secara detail.

  1. Wabah Internet
Dizaman yang modern ini, alat-alat elektronik semakin canggih. Banyak para ilmuan yang menciptakan alat-alat yang dapat meringankan beban manusia, Salahsatunya adalah internet. Internet ini mempunyai fungsi yang positif bagi manusia, misalnya,dengan alat ini manusia bisa mengakses berita atau informasi yang mereka butuhkan. Tapi disisi lain alat ini juga mempunyai fungsi yang negatif. Seperti yang dialami mahasiswa kita, apabila mereka mendapat tugas dari dosennya untuk membuat artikel, mereka tidak mau mengerjakan atau menyusun artikel itu sendiri tetapi mereka mencari dari internet. Dengan meminta bantuan pada syaikh google atau yang disebut dengan mesin pencari search engine dengan bantuan google mereka tinggal mengetik apa tema dari artikel tersebut kemudian keluarlah beberapa artikel seperti yang mereka maksud. Ketika sudah dapat apa yang dibutuhkan, mereka langsung meng-copy-nya dan tidak mau mempelajari apa maksud artikel tersebut. Sehingga ketika ada presentasi dikelas, kebanyakan dari mereka tidak bisa menjawab terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh teman-temannya. Hal inilah yang menjadikan mahasiswa kita tidak bisa berfikir kreatif dan hanya bergantung pada pada internet.

  1. Tugas dipundak, Perpustakaan Ngantre
Perpustakaan adalah salahsatu komponen yang harus ada pada setiap perguruan tinggi atau universitas, baik itu kampus yang berada dijantung kota atau kampus yang ada dipinggiran. Perpustakaan sangat mempengaruhi bagi wawasan mahasiswa itu sendiri, karena dengan adanya perpustakaan setiap mahasiswa bebas dan mampu membaca buku apa saja yang tidak sanggup dibeli oleh mahasiswa. Kadang ada masalah baru yang timbul dari lembaga pendidikan yang berkaitan, mereka membangun gedung perpustakaan yang megah, tapi literaturnya dan penataan administrasinya tidak teratur, mereka hanya memenuhi salahsatu komponen dalam kampus. Inilah yang membedakan dari perpustakaan yang satu dengan yang lain.
Penulis merasa perpustakaan sudah dapat dikategorikan sebagai perpustakaan yang baik, karena disamping literatur yang cukup lengkap, dan fasilitas dan pelayanannya yang ramah, perpustakaan ini dibuka untuk umum jadi yang bisa memanfaatkan perpustakaan tidak hanya dari kalangan mahasiswa tapi semua lapisan masyarakat yang ada di Salatiga, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tapi disayangkan jika lembaga sudah berusaha memberikan hal yang terbaik bagi mahasiswa, namun tanggapan dari mahasiswa tidak sebanding dengan usaha lembaga, hal ini terbukti dengan jumlah pengunjung perpustakaan yang minim pada hari-hari biasa, mungkin ini akibat daya minat baca mahasiswa yang masih kurang. Setiap mahasiswa berkunjung ke perpustakaan mayoritas mereka bila ditanya mengapa keperpustakaan jawaban mereka dapat dipastikan mau mengerjakan tugas. Sangat sedikit dari jawaban mereka mau membaca cari pengetahuan.
Seharusnya mahasiswa yang sudah terkenal dengan kaum intelektaul, dengan sadar dan termotivasi untuk menjadikan perpustakaan sebagai gudang ilmu mereka, tidak sedikit mahasiswa yang tidak mengenal perpustakan sungguh sangat ironis. Sebagai mahasiswa yang mempunyai tuntutan moral yang sangat tinggi, selayaknya mahasiswa membekali diri dengan ilmu sebanyak-banyaknya.
Itulah sekilas pandang dari budaya belajar mahasiswa, yang sedikit banyak telah menghiasi wajah kampus. Mungkin dalam penyajian tulisan ini, sedikit banyak telah memojokkan mahasiswa karena penulis menyajikan budaya belajar yang tidak sehat. Tapi ini semua berdasarkan fakta-fakta dalam keseharian kampus. Sekali lagi penulis menegaskan tidak semua mahasiswa mempunyai budaya belajar yang tidak sehat, ada sebagian dari mereka benar-benar telah menata niat untuk belajar di kampus. Banyak faktor yang mempengaruhi beragamnya budaya belajar mahasiswa, salah satunya yang paling dominan adalah dari kepribadian mahasiswa itu sendiri, di tambah dengan lingkungan yang tidak mendukung sama sekali. Yang terakhir dari tulisan ini, penulis akan meninggalkan pesan bagi seluruh mahasiswa bahwa setiap mahasiswa harus belajar dan selalu belajar dengan moto anak kampus the time is to read or the time is to study[4]



[1] Abdurrahman, Pengelolaan Pengajaran, C.V. Bintang Selatan, 1994, hlm. 97.
[2] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, Rahasia Sukses Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 12.
[3] The Liang Gie, Cara Belajar yang Efisien, Pusat kemajuan Studi, Yogyakarta, 1988, hlm. 76
[4] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, loc. It. Hlm. V.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel