Sejarah Dan Kewalian Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati
Saturday 17 September 2016
Edit
kangsoma.com – Sejarah Dan Kewalian
Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati- Sahabat kangsoma sipa yang
tidak kenal dengan sebuah desa yang berada di Pantura yang terkenal dengan
pendidikan pondoknya, yang berisi dengan ribuan santri dan ulama-ulama’ besar
dan para auliya’ salah satunya adalah simbah Mutamakin. Desa tersebuta ada di
Kabuaten Pati sebelah Utara yaitu desa Margoyoso atau orang selalu menyebutnya
dengan Kajen.
Kali ini kangsoma akan menulis Sejarah Dan Kewalian Mbah Dullah,
KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, beliau adalah pendiri dan pengasuh Pondok
Terbesar di Kajen yaitu Pondok Matholi’ul Falah, langsung saja simak Sejarah
Dan Kewalian Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, diakui justru karena sepanjang hidupnya, ia
berusaha melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW.
Terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatannya; baik yang berhubungan
dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.
Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari
gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya
miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali
pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya
disuguhi makan.
Baca Juga : Sejarah Mbah Mutamaqin Kajen
Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari ia menerima tamu
dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan
pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan
dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau
‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika ia masih menjadi pengurus (Syuriyah) NU, aktifnya
melebihi yang muda-muda. KH Abdullah Salam tidak pernah absen menghadiri
musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan
dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.
Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia
memintanya –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin
membaca Fatihah 41 kali. Dan ia jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh
ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh nya masih kuat, ia juga melayani undangan
dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin
doa, dsb.
Ketika kondisi nya sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun
menyelenggarakan acaranya di rumahnya. Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai
sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh
kalangan ulama sendiri, ia termasuk kiai yang menyukai musyawarah.
Ia bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat
orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Ia rela meminjamkan telinganya
hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini
adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanannya yang sudah diketahui
banyak orang.
Tawadu atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya
bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka
yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai
sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu
pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau
direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah
hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan.
Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatannya ditopang
oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan
suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya –
kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai
meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari
orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini.
Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena
ia punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu
sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung
maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau
langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan
sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah
Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi
beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa– merupakan
salah satu pantangan utama.
Ia tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi
juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum
pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai
‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah,
tapi juga makan setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik:
“Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.”
Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel,
bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan,
agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengannya sehabis mengaji.
“Cukup bersalaman dalam hati saja!” katanya.
Konon orang kaya itu kemudian diajak Mbah Dullah ke rumahnya
yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh
atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata mbah Dullah kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah,
yang sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap Mbah Dullah,
seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu
disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah
kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya
mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya,
“kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah;
semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah
Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata.
Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan
suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan
kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah di atas yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah
semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang
didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat
terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang
benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa
pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga
kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau
kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba
memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan
melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren,
beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil
jadiidil ashlah’, “ Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang
lebih relevan”. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan
matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan
zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah
Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahullah — melalui teladan dan
sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia
yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’;
sebagaimana ia sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah
dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak?
Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin
menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin
menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski
terus miskin di dalam.
Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan
orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu
menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya
gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing
kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah;
meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah
Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan
memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat
melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah
meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya,
memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Dari sentuhan tangan dinginnya di Pesantren yang terletak di
pinggiran pantai utara Jawa itu, lahir ulama-ulama besar seperti KH Sahal
Mahfudz, KH Abdurrahman Wahid dll.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu
telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Ia sengaja berwasiat
untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya ia, seperti saat hidup,
tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya
sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.
25 Sya’ban 1422 bertepatan 11 November 2001 sore, ketika Mbah
Dullah dipanggil ke rahmatullah, wasiat pun dilaksanakan. Ia dikebumikan sore
itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida
dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke
dalam sorgaKu!”
Demikianlah Tulisan tentang Sejarah Dan Kewalian Mbah Dullah,
KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, Semoga bermanfaat
Sumber: NU Online
Tonton Video ini : Tentang Mbah Dullah Salam Kajen
Tonton Video ini : Tentang Mbah Dullah Salam Kajen